ISTILAH Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah dibahas panjang lebar oleh para ulama dan pengkaji ilmu, sejak dulu sampai sekarang. Hal ini membuktikan bahwa ia bukanlah sesuatu yang asing dalam khazanah ilmiah keislaman. Jika ada seorang ahli ilmu yang merasa tidak pernah mendengar istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka diragukan kredibilitas ilmunya. Istilah itu tak ubahnya seperti istilah Aqidah, Syariah, Tauhid, Fiqih, Hadits, Muamalah, dan lain-lain yang populer dalam kajian ilmu.
Untuk memahami definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ada sebuah tulisan bagus yang disusun oleh Abu Maryam Muhammad Al-Jaritali, berjudul Man Hum Ahlus Sunnah wal Jama'ah?[1] Tulisan ini bersifat ringkas, tetapi komprehensif, dan merujuk pendapat-pendapat para ahli ilmu dari berbagai generasi.
Secara umum si penulis (re: Abu Maryam Muhammad Al-Jaritali) menjelaskan terlebih dulu makna Sunnah, lalu makna Al-Jama'ah, kemudian menjelaskan definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di sini, akan disebut beberapa bagian dari isi tulisan tersebut.
MAKNA SUNNAH
Sunnah berasal dari kata sanna-yasunnu-sannan. Secara bahasa ia memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut:
- Menjelaskan sesuatu. Seperti pada kalimat, "Sannallahu dzalika." Maksudnya, contoh kalimat "sannallahu dzalika" disebutkan Ibnu Manzhur dalam Lisan Al-'Arab dan Al-Azhari dalam Tahdzib Al-Lughah. Di sini, maknanya adalah; ketetapan, perintah, dan larangan-Nya. Adapun yang bermakna "menjelaskan", contoh kalimat yang dipakai Ibnu Manzhur adalah, "sannallahu lin-nas."
- Riwayat atau jalan. Ibnu Manzhur berkata, "Dalam hadits sering diulang-ulang kata Sunnah dan kata-kata yang bersumber darinya. Asal maknanya adalah riwayat dan jalan." Sedangkan Al-Farisi berkata, "Sunnah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam", maksudnya sejarah kehidupannya." Dalma rangkaian kalimat ini, kata yang dipakai Ibnu Manzhur yaitu "ath-thariqah" dan "as-sirah", di mana maknanya yang mungkin lebih tepat, adalah "metode/cara" dan "perjalanan hidup". Lihat Lisan Al'Arab, bab sanana.
- Kebiasaan yang kuat. "Sunnata man qad arsalna qablaka min rusulina, wa laa tajidu li sunnatina tahwila" (Sebagai suatu ketetapan atas Rasul-rasul yang Kami utus sebelummu; kamu tidak akan mendapati ada perubahan atas ketetapan Kami itu). [QS. Al-Israa': 77]. Sunnah di sini bermakna, suatu kebiasaan yang kuat yang telah Allah tetapkan hukum dan keputusan atasnya.
[1] Makna bahasa: metode, kebiasaan, perjalanan hidup.
[2] Dalam fiqih ia bermakna: Suatu amalan yang dicintai dan terpuji, sebagai tambahan dari amal-amal wajib. Para ahli fiqih berkata, "Siwak itu Sunnah secara ijma'." Maksudnya, disukai.
[3] Dalam ushul fiqih bermakna: Salah satu dari dalil-dalil syariat. Dalil syariat yang disepakati, yaitu: Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
[4] Dalam hadits bermakna: Sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam berupa perkataan, perbuatan, atau pembiaran Nabi atas suatu perkara; atau sifat-sifat akhlak dan fisik Nabi. Asy-Syathibi berkata, "Lafazh As-Sunnah dipakai untuk apa yang dinukil dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam secara khusus, yang ia tidak disebut dalam Kitabullah."[2]
[5] Sunnah juga bermakna, lawan dari bid'ah. Ibnu Mas'ud radiyallahuanhu berkata, "Sederhana dalam Sunnah lebih baik daripada bersusah-payah dalam bid'ah."[3] [Karena amalan Sunnah meskipun kecil, diterima di sisi Allah; sedang amalan bid'ah, meskipun besar, hanya sia-sia belaka].
[6] Sunnah juga bermakna aqidah. Kitab-kitab ulama tentang aqidah diberi judul As-Sunnah, seperti Kitab Ushul As-Sunnah karya Imam Ahmad, Syarah As-Sunnah karya Al-Barbahari, Syarah As-Sunnah dan Mashabih As-Sunnah karya Al-Baghawi, dan As-Sunnah karya Al-Khallal.
[7] Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa, berkata, "Sunnah adalah syariat. Ia adalah apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dari agama ini."
MAKNA JAMA'AH
Secara bahasa kata "jama'ah" ditemui dalam beberapa bentuk yang masing-masing memiliki makna tertentu, antara lain sebagai berikut:
- Al-ijitima', yaitu lawan dari tafarruq (berpecah-belah) atau furqah (kelompok-kelompok).
- Tajamma' (al-qaum), jika berkumpul dari sana-sini, mengumpulkan yang terpecah-belah.
- Al-jam'u, yaitu sebutan untuk sejumlah manusia.
- Al-ijma', yaitu kesepakatan dalam hukum. Dikatakan "Ijma'u ahlul 'ilmi," maksudnya, mereka sepakat dengan suatu hukum.
- Al-jama'ah, sejumlah besar manusia, suatu golongan dari kalangan manusia yang dibentuk oleh keinginan individu.
[1] Para Sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam Asy-Syathibi berkata, "Al-Jama'ah adalah para Sahabat secara khusus. Mereka adalah orang-orang yang menegakkan tiang-tiang agama, mengikatkan pasak-pasaknya, dan mereka tidak pernah berkumpul di atas kesesatan."[4]
[2] Ahli ilmu. Al-Bukhari rahimahullah berkata, "Bab...dan apa yang Nabi shalallahu 'alaihi wasallam perintahkan agar komitmen dengan Al-Jama'ah, yaitu mereka yang ahli ilmu."[5]
[3] Berkumpul diatas kebenaran, dengan meniadakan berpecah-belah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat, "Al-jama'ah itu rahmat, sedang bergolong-golongan itu adzab." (HR. Ahmad,[6] dalam Musnad-nya. Al-Albani berkata, "Sanadnya baik, dan rijalnya tsiqat").[7] Ibnu Mas'ud radiyallahuanhu berkata, "Sesungguhnya apa yang kalian benci dalam berjama'ah, itu lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan."[8]
[4] Himpunan kaum Muslimin dan Sawadul A'zham (jumlah besar Umat Islam), yang berada di atas Sunnah ketika mereka berkumpul di bawah seorang imam, atau seorang pemimpin dalam urusan agama, atau seorang pemimpin pemimpin dalam urusan duniawi yang bersifat mubah. Dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman radiyallahuanhu, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam memberikan wasiat, "Hendaklah engkau bersama Jama'ah Muslimin dan imam mereka."[9] Ath-Thabari rahimahullah berkata, "Dan yang benar seputar hadits tentang komitmen dengan Al-Jama'ah ini, yaitu orang-orang yang berkumpul dan taat kepada pemimpinnya, dan siapa yang membatalkan baiatnya (atas pemimpin itu), dia telah keluar dari Al-Jama'ah."[10]
[5] Ahlul Halli wal Aqdi.[11] Mereka adalah ulama, umara (pemimpin pemerintahan), para panglima, para hakim, dan pribadi-pribadi, atau sebagian mereka; jika mereka berkumpul di atas urusan kemaslahatan kaum Muslimin, seperti urusan imam dan baiatnya, atau pemecatannya. Ibnu Batthal rahimahullah berkata, "Al-Jama'ah adalah Ahlul Halli wal Aqdi di setiap masa."[12]
[6] Sekelompok manusia yang berkumpul di atas suatu urusan. Misalnya, ada istilah Jama'ah masjid. Seperti disebut dalam hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam, "Shalat berjama'ah lebih utama dari shalat sendiri."[13] Begitu juga riwayat, "Makanlah secara berjama'ah, jangan sendiri-sendiri, karena berkah itu bersama jama'ah."[14]
MAKNA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah para Sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan siapa saja komitmen dengan manhaj mereka, menjadikan mereka tuntunan, mengikuti jalan mereka, dari kalangan orang-orang beriman yang berpegang teguh dengan jejak mereka, sampai Hari Kiamat.
Mereka disebut Ahlus Sunnah karena mereka mengambil Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, berilmu dengannya, dan mengamalkan hukum-hukumnya. Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Mereka mengikrarkan Syahadat, tiada ilah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dan bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya di langit, Dia mendekat kepada hamba-Nya sebagaimana yang Dia inginkan, dan Dia turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia inginkan."[15]
Mereka disebut Al-Jama'ah, karena mereka berkumpul di atas al-haq, meyakini kebenaran itu, mengikuti jejak Jama'atul Muslimin, yaitu orang-orang yang berpegang-teguh dengan Sunnah, dari kalangan para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in. Dan mereka berkumpul kepada pemimpin yang Allah berikan urusan wilayah (kekuasaan politik) kepadanya, tidak mengoyak ketaatan dengan maksiat; sebagaimana yang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam perintahkan atas mereka.
Dan mereka adalah siapa yang berkumpul dari kalangan umat Islam, dengan tidak menyimpang dari jalan itu lalu berbelok ke arah jalan lain. Mereka di atas Sunnah dan sikap Ittiba' (mengikuti), dengan tidak menyimpang ke arah jalan bid'ah dan hawa nafsu; dengan hati-hati mereka, badan-badan mereka, dan apa pun yang memungkinkan untuk itu.
PENJELASAN PENTING
Ibnu Taimiyah rahimahullah menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan makna khusus sebagai: Orang yang mengikuti (Sunnah) bukan mengikuti bid'ah, yang selamat dari syubhat seputar aqidah; seperti dalam perkataan beliau, "Ahlus Sunnah berbeda dengan paham Asy'ariyah." Perkataan ini populer di kalangan ahli ilmu.
Di sisi lain, Ibnu Taimiyah menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan makna umum sebagai: Setiap pemeluk millah dan ajaran Islam; seperti dalam perkataan beliau, "Perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah (Syiah)..." Di sini, Ahlus Sunnah merupakan istilah umum, untuk siapa saja yang berada di atas Tauhid. Dan, perkataan Ibnu Taimiyah itu sangat jelas dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah, yaitu bagi yang menelaahnya.
AHLUL HADITS
Banyak ulama menjelaskan, bahwa makna Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: Ahlul Hadits. Al-Lalika'i berkata, "Setiap pengikuti madzhab, maka akan dinasabkan kepada pendapat perintis madzhab itu, dan kepada pikirannya disandarkan riwayatnya. Berbeda dengan para ahli hadits, karena pemilik perkataan mereka adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam; kepada beliau mereka menyandarkan riwayat, dengannya mereka berdalil, kepada petunjuknya mereka berlindung, atas pikirannya mereka mengambil tuntunan, atas hal itu mereka berbangga, atas musuh-musuh Sunnah Nabi mereka menyerang."
Al-Jilani berkata, "Ahlus Sunnah tidak memiliki nama apapun, selain satu saja, yaitu: Ash-habul hadits (para ahli hadits)."
Berkata Imam Al-Bukhari atas hadits Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, [Tidak putus-putusnya, sekelompok orang dari umatku berdiri diatas al-haq...]; "Maksud sekelompok orang ini, adalah para ahli hadits."[16]
Abu Bakar Al-Ismaili berkata, "Ketauhilah oleh kalian -semoga Allah merahmati kami dan kalian- bahwa madzhab Ahlul Hadits Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah meyakini Allah, Malaikat-Nya, rasul-rasulNya, menerima apa yang dikatakan dalam Kitab Allah Ta'ala, di dukung oleh riwayat yang shahih dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam."
Lebih jauh beliau berkata, "Dan ketauhilah bahwa Allah Ta'ala telah mewajibkan cinta dan ampunan-Nya kepada siapa yang mengikuti Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, seperti disebut dalam Kitab-Nya; dan menjadikan mereka sebagai firqah an-najiyah, al-jama'ahyang diikuti. Berfirman Allah Azza wa Jalla kepada siapa yang mengklaim dirinya mencintai Allah; 'Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulullah)! Maka Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian'." [QS. Ali-Imran: 31]
Abu Utsman Ash-Shabuni menamai kitabnya, Aqidatu As-Salaf Ash-hab Al-Hadits. Muhamamad bin Ahmad bin Ishaq Al-Hakim menyusun, Syi'ar Ashab Al-Hadits.
Bukan berarti istilah yang dimaksud ialah orang-orang yang hanya menyibukkan diri dengan studi hadits, tetapi juga termasuk siapa saja yang istiqomah di atas Sunnah, dari kalangan ahli hadits, fiqih, tafsir, jihad, dan selain mereka.
Ibnu Taimiyah berkata, "Kami tidak memaknai Ahli Hadits itu terbatas pada yang mendengar, mencatat, dan meriwayatkan hadits. Akan tetapi kami memaknainya: Bagi siapa saja yang berhak dengan menjaganya, mengenalnya, memahaminya, secara lahir dan batin. Dan demikian juga halnya dengan Ahlul Qur'an, sangat dekat perangainya: mencintai Al-Qur'an dan Hadits, pembahasan atas keduanya, menolong keduanya, dan mengamalkan apa-apa yang dia ketahui, dari kewajiban-kewajibannya."[17]
Demikian ringkasan dari tulisan berjudul Man Hum Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang disusun oleh Abu Maryam Muhammad Al-Jaritali, sebagaimana dimuat di situs Muslim: www.alukah.net. Semoga penjelasan ini bisa memberi gambaran terang tentang makna Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Aamiin ya Raahiim.
Wallahu Ta'ala 'alam bishawwab.
Footnote:
[1] Sumber naskah: www.alukah.net/Sharia/0/21860/.
[2] Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata dalam Al-Fiqh Al-Islamiy, "Siwak itu Sunnah menurut kesepakatan para ahli fiqih SELAIN madzhab Maliki yang menganggapnya sebagai keutamaan." (Edt.)
[3] Perkataan Ibnu Mas'ud ini aslinya disebutkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (324), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (3/19), Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir (10337), dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Al-Kubra (168). (Edt.)
[4] Lihat; Al-I'tisham, hlm 479. (Edt.)
[5] Shahih Al-Bukhari, bab firman Allah Ta'ala; Wa Kadzalika Ja'alnakum Ummatun Wasathan. (Edt.)
[6] Lebih tepatnya diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Zawa'id (tambahan) Al-Musnad, nomor 17721. Al-Haitsami berkata dalam Majma' Az-Zawa'id (9097), "Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani, di mana rijal keduanya (Al-Bazzar dan Ath-Thabarani) adalah tsiqah." (Edt.)
[7] Al-Albani menghasankan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (667) dan Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir (5420). (Edt.)
[8] Perkataan Ibnu Mas'ud ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (8813), dan disebutkan Asy-Syathibi dalam Al-I'tisham, juga Abu Nuaim dalam Hilyatu Al-Awliya'. Dalam Jami' Al-Ahadits (40233), As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabarani. (Edt.)
[9] Hadits shahih. Diriwayatkan Imam Al-Bukhari (6557), Muslim (3434), Ibnu Majah (3969), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (8/156), Al-Hakim (355), dan lain-lain. (Edt.)
[10] Perkataan Imam Ath-Thabari ini disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathu Bari, bab Kaifa Al-Amr Idza Lam Takun Jama'ah. Dan, kami belum menemukannya di sejumlah kitab karya Ath-Thabari sendiri, seperti; Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, Tahdzib Al-Atsar, dan Tarikh Al-Umam wa Ar-Rusul wa Al-Muluk. (Edt.)
[11] Ahlul Halli wal Aqdi, secara harfiah bermakna orang-orang yang ahli dalam "mengurai" dan "mengikat". Maksudnya, mengurai sesuatu yang rumit dan mengikat sesuatu yang luas. Mereka adalah orang-orang pilihan, berilmu, berwawasan luas, bijaksana, yang berhak menjadi anggota Dewan Syura, yang berperan mendampingi seorang pemimpin. Dalam konteks politik modern di Tanah Air, posisi mereka mungkin seperti lembaga DPA (Dewan Pertimbangan Agung) di era Orde Baru; atau Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) di era Reformasi. Tetapi Ahlul Halli wal Aqdi berada dalam naungan sistem Islam, bukan sistem sekuler.
[12] Lihat Syarh Ibni Baththal, bab ke-20; Bab Qaulihi Ta'ala Wa Kadzalika Ja'alnakum Ummatun Wasathan. (Edt.)
[13] Hadits dengan redaksi sebagaimana disebutkan penulis, diriwayatkan Imam Muslim (1038) dan Al-Baihaqi dalam Syu'ab Al-Iman (2700) dari Ibnu Umar, dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsath (363) dari Abu Hurairah. (Edt.)
[14] HR. Ibnu Majah (3278) dari Umar bin Al-Khattab. (Edt.)
[15] Dikutip dari Al-'Uluw Li Al-'Aliyyi Al-Ghaffar, karya Adz-Dzahabi, hlm 120.
[16] Perkataan Al-Bukhari sebagaimana disebutkan penulis, bahwa sekelompok orang itu adalah ahlul hadits, maka ia, adalah perkataan Ali bin Al-Madini yang dinukil oleh Al-Bukhari, dan disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari-nya, dalam bab yang sama. Itu pun, Ibnu Hajar menukil dari Imam At-Tirmidzi. Adapun dalam Sunan At-Tirmidzi, bisa dilihat pada hadits nomor 2155. (Edt.)
[17] Dikutip dari Majmu' Al-Fatawa, juz 4, hlm 91.
Komentar
Posting Komentar