Cara Menyikapi Larangan Hari Raya Natal
Oleh: Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA hafizahullah ta'ala
Pertanyaan:
Hukum mengucapkan Natal dan cara
menyikapi maupun berdakwah kepada saudara-saudara kita yang beragama Nasrani?
Jawaban:
Pertama, pertanyaan ini selalu
ditanyakan setiap tahunnya. Padahal ketentuannya JELAS dan aturannya dapat
dipahami dengan baik.
Kedua, hal ini sebenarnya sudah
selesai. Tinggal perlunya penegasan untuk memperkuat keimanan kita.
Hukum mengucapkan “Selamat” kepada
agama lain di LUAR KEYAKINAN kita dalam KEIMANAN kita sebagai muslim itu TIDAK
DIPERKENANKAN, HARAM HUKUMNYA. Karena didalamnya terdapat unsur pengakuan
adanya dien selain Islam atau agama
yang dibenarkan selain Islam, itu tidak ada di wilayah Iman kita.
Indahnya, dalam Al-Qur;an dituliskan
dan dijelaskan, “Laa iqrohal fiddiin”
yang artinya “Tidak ada paksaan (tidak boleh memaksa) dalam beragama” namun
TIDAK BOLEH ikut juga. Dan ini STANDART dalam keyakinan beragama, yang meyakini
bahwa agamanya paling benar. Maka ummat Islam sudah seharusnya mengakui Islam
adalah agama paling benar, namun tidak boleh memaksa orang lain masuk Islam,
misal dengan cara menodongkan senjata.
[QS. Ali Imran (3) Ayat 19]
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.”
Tafsir
Jalalain, “(Sesungguhnya
agama) yang diridai (di sisi Allah) ialah agama (Islam) yakni syariat yang
dibawa oleh para rasul dan dibina atas dasar ketauhidan. Menurut satu qiraat dibaca anna sebagai
badal dari inna yakni badal isytimal. (Tidaklah berselisih orang-orang yang
diberi kitab) yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam agama, sebagian mereka
mengakui bahwa merekalah yang beragama tauhid sedangkan lainnya kafir (kecuali
setelah datang kepada mereka ilmu) tentang ketauhidan disebabkan (kedengkian)
dari orang-orang kafir (di antara sesama mereka, siapa yang kafir pada
ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah cepat sekali perhitungan-Nya)
maksudnya pembalasan-Nya.”
Tafsir
Quraish Shihab, “Agama yang benar dan diterima di sisi Allah
adalah agama yang membawa ajaran tauhid dan tunduk kepada Allah dengan penuh
keikhlasan. Masing-masing umat Yahudi dan Nasrani saling berselisih tentang
agama yang dimaksud itu, hingga mengakibatkan mereka melakukan penyimpangan dan
penyelewengan. Perselisihan yang terjadi di antara mereka itu bukan disebabkan
oleh ketidaktahuan mereka--karena mereka sebenarnya sudah tahu--tetapi lebih
disebabkan oleh rasa saling iri dan dengki mereka. Biarkan orang yang
mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah menanti perhitungan Allah yang cepat
itu.”
Penjelasannya, “Innadiina ‘indallahil Islam” bermakna “Sungguh Ad-Diin (pegangan hidup/agama) tidak
ada disisi Allah kecuali Islam.”
Maksud Allah subhanahu wa ta’ala, yang Saya ridhoi, yang Saya tetapkan hanyalah
ISLAM. Karena “Indallahi…” bermakna
yang sangat dekat atau yang dimiliki (jika dalam konteks kemanusiaan) atau yang
diridhoi atau yang ditetapkan. Yang lain tidak Saya tetapkan.
[QS. Ali Imran (3) Ayat 85]
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.”
Tafsir
Jalalain, “(Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima dan di
akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi) karena tempat tinggalnya ialah neraka di mana ia akan menetap di sana
untuk selama-lamanya.”
Tafsir
Quraish Shihab, “Barangsiapa
yang menghendaki agama lain, setelah diutusnya Muhammad saw., selain agama dan
syariat Islam yang dibawanya, tidak akan diperkenankan Allah. Pada hari
pembalasan nanti, dalam pandangan Allah ia termasuk orang yang menyengsarakan
diri sendiri. Mereka berhak merasakan siksa yang pedih.”
Penjelasannya, Siapa
saja yang mencari selain Islam, mengakui selain Islam, menetapkan selain Islam,
kata Allah, “Tidak akan saya terima.”
Bahkan menggunakan kata “Laan”
Dalam ilmu Nahwu (Gramatikal Bahasa
Arab), “Laa” adalah harfu nafyin yang artinya menafikan
sesuatu tapi juga dalam penafian ini ada dua jenis, yaitu: (1) Mutlak dan (2)
Saat itu tapi dumal istiqbal (tanpa
yang akan datang) atau saat ini saja. Dalam hal ini dapat diambil contoh
kalimat Syahadat, “Asyhaduu anlaa illaha
ilallah” dimana “illaha…”
bermaksud Ishbat bermakna yang lain
ditolak secara mutlak, hanya Allah yang ditetapkan.
Dalam Syahadat sudah jelas bahwa
menerima segala apa yang diperintahkan dan syariat perintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala MUTLAK.
Kemudian kata “Laan”, dalam ilmu Nahwu bermakna penolakan. “Laan” adalah harfu
nafyin (menolak) wa nasybid (menashabkan atau kuat) wastibalin (sampai
kapanpun) yang artinya tidak ada diin
selain Islam yang diterima sampai kapanpun.
Dalam hal ini, TIDAK BERLAKU hukum
PLURALISME yang mengatakan kalau “Semua Agama sama, menuju Tuhan yang sama,
hanya berbeda caranya saja”. Ini adalah hukum yang aneh dan termasuk
kemusyrikan kontemporer. Bahkan menurut pemikir Islam kini, Pluralisme termasuk
agama baru. Karena setiap manusia memiliki pilihan begitu pula saat memilih
Islam, harus konsekuen dengan pengakuan Islam itu sendiri.
Masuk kepada inti jawabannya,
Pertama, meyakini hanya Islam yang benar. Karena keyakinan kita ini bukan
hanya dikuatkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga dikuatkan oleh
Undang-undang. Dasarnya Pancasila sila ke-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Penjelasan sila ke-1 ini ada di Pasal 29 Ayat 1 sebagai pengantar dan Pasal 29
ayat 2-nya sebagai penjelasan atau cara melakukannya.
[Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29]
Maka dari itu, pelajaran pertama
adalah Tauhid ada dalam Syahadat yang menjadi Rukun Islam pertama dalam ibadah.
Yang adanya unsur pengakuan dan menjadi sebuah konsekuensi dalam ber-Islam.
Maka dari itu ibadah pertama ini untuk menanamkan Tauhid adanya Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah, dan Aswa wa
Shifat.
Dalam hal ini, “Innadiina indallahil Islam” mengandung makna adanya Tauhid dan
Syahadatain. Ini juga dijelaskan dalam HR Muslim no. 8 Muqaddimah Jilid 1 dari
sahabat Umar bin Khattab radiyallahu’anhu
dan Hadits Arbain Nawawi hadits no. 2.
[HR
Muslim no. 8 Muqaddimah Jilid 1 dari Sahabat Umar bin Khattab radiyallahu’anhu]
Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu berkata : “Suatu
ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang
sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera
duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan
meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai,
Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau
bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah,
dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah,
jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka
kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau
beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir,
dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau
benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan
kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah
engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau
tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi :
“Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya
tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan
kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak
wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang
kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling
berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera
pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah
engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya
lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian
tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]
[1] Beliau seorang perawi yang
tsiqat (Taqribut Tahdziib : I/319 no.7706)
[Hadits
Arbain Nawawi hadits no. 2]
Artinya: “Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata: “Ketika
kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari
tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih
dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan
tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk
dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya
(Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam?”
Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah,
dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”, kemudian dia
berkata: “Anda benar “.
Kami semua heran, dia yang bertanya
dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang
Iman “. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia
berkata: “Anda benar“.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan
aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka
Dia melihat engkau”.
Kemudian dia berkata: “Beritahukan
aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya
tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang
tanda-tandanya”, beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan
jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala
domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya”, kemudian orang itu
berlalu dan aku berdiam sebentar.
Kemudian beliau (Rasulullah)
bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang
kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Penjelasannya,
ibadah pertamanya Tauhid dan Syahadatain kemudian di kuatkan dengan shalat yang
didalamnya juga ada Syahadatain. Jadi, boleh mengatakan bahwa, “Islam paling
benar, agama lain tidak benar.”
Kemudian, bagaimana cara memiliki
sikap terhadap yang tidak sekeyakinan dengan kita dalam hal keimanan? Al-Qur’an
telah memberikan petunjuk dalam QS. Al-Baqarah (2) Ayat 256.
[QS. Al-Baqarah (2) Ayat 256]
Artinya: “Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Tafsir
Jalalain, “(Tidak
ada paksaan dalam agama),
maksudnya untuk memasukinya. (Sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari
jalan yang salah), artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan
keterangan-keterangan yang kuat bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan
kekafiran itu adalah kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Ansar yang
mempunyai anak-anak yang hendak dipaksakan masuk Islam. (Maka barang siapa yang
ingkar kepada tagut), maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan
jamak (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kokoh (yang tidak akan
putus-putus dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui)
segala perbuatan.”
Tafsir
Quraish Shihab, “Tidak ada
paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan
telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa
beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan
memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang-teguh pada
penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Perumpamaannya
seperti orang yang berpegangan pada tali yang kuat dan kokoh, sehingga tidak terjerumus
ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa
yang kalian lakukan. Maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal. Komentar
mengenai ayat ini dari segi hukum internasional telah disinggung pada ayat-ayat
peperangan, dari nomor 190-195 surat al-Baqarah.”
Penjelasannya, “Laa iqrohal fiddiin qothbayyanna rrusydu
minalghoyy” yang dimaksudkan kamu boleh yakin Islam agama yang paling benar
tetapi kamu tidak boleh memaksakan orang untuk mengikuti keyakinan anda.
Manhaj umumnya termaktub pada [QS.
An-Nahl (16) Ayat 125].
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Tafsir
Jalalain, “(Serulah) manusia, hai Muhammad (kepada
jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Alquran (dan pelajaran
yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan bantahlah mereka
dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah
dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan
hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang lebih mengetahui) Maha
Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka; ayat
ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir. Dan
diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi saw.
melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw. bersumpah melalui sabdanya,
"Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai
penggantimu."”
Tafsir
Quraish Shihab, “Wahai Nabi,
ajaklah manusia meniti jalan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanmu.
Pilihlah jalan dakwah terbaik yang sesuai dengan kondisi manusia. Ajaklah kaum
cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi untuk berdialog dengan kata-kata
bijak, sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, ajaklah
mereka dengan memberikan nasihat dan perumpamaan yang sesuai dengan taraf
mereka sehingga mereka sampai kepada kebenaran melalui jalan terdekat yang
paling cocok untuk mereka. Debatlah Ahl al-Kitâb yang menganut agama-agama
terdahulu dengan logika dan retorika yang halus, melalui perdebatan yang baik,
lepas dari kekerasan dan umpatan agar mereka puas dan menerima dengan lapang
dada. Itulah metode berdakwah yang benar kepada agama Allah sesuai dengan
kecenderungan setiap manusia. Tempuhlah cara itu dalam menghadapi mereka.
Sesudah itu serahkan urusan mereka pada Allah yang Maha Mengetahui siapa yang
larut dalam kesesatan dan menjauhkan diri dari jalan keselamatan, dan siapa
yang sehat jiwanya lalu mendapat petunjuk dan beriman dengan apa yang kamu
bawa.”
Penjelasannya, dakwahi
mereka, sampaikan risalah, dan sampaikan keterangan dengan (1) Hikmah, (2)
Pelajaran yang baik, dan (3) Bantahlah dengan cara yang baik.
Toleransi yang baik yaitu “Lakuum diinukuum waliyaddiin” yang
artinya “Untukmu agamamu, untukku
agamaku”. Dan toleransi terbaik yaitu Zero Tolerance yang bermaksud jangan
saling ganggu dalam hal keimanan, akidah, dan ibadah.
KH. Hasyim Asyari rahimahullah dalam Kitabnya memberikan
fatwa, “Orang yang ikut-ikutan mengenakan
pakaian-pakaian mereka mereka, pergi ke tempat ibadah mereka itu hukumnya
mutlak HARAM. Dihukumi Tasyabbuh bil Kuffar (menyerupai orang-orang kafir).”
Pesan-pesan kemuliaan bagi yang
mengamalkan Natal dan saudara-saudara Nasrani,
“Saudara-saudariku, kita hidup
berbangsa, setanah air. Kemudian kita hidup satu naungan ibu pertiwi, mari kita
jaga kerukunan dalam kehidupan ini. Kita saling tolong menolong untuk membangun
bangsa kita agar tumbuh menjadi bangsa yang maju, modern, terlibat dalam
kehidupan dunia yang elegan. Namun, kami bermohon maaf karena dalam bangsa ini
ada Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi memiliki satu tujuan untuk
membangun bangsa, bukan tujuan membangun akhirat dalam hal kehidupan ber-agama.
Kami mohon maaf belum bisa mengucapkan selamat karena di wilayah itu kita
berbeda keyakinan. Dan hal ini dijamin oleh Undang-Undang, tetapi mohon maaf
sebesar-besarnya, ketidakmampuan kami untuk mengucapkan selamat bukan berarti hubungan
kebangsaan kita pun harus kemudian menjadikan tumbuh sifat negative, tumbuh
saling berfikir negative, tidak. Ini bagian ranah keyakinan saja yang disitu
kita saling menghormati. Kami tidak ikut-ikutan, silahkan saja itu keyakinan
anda. Tapi kami menyayangi anda, kita bahu-membahu membangun bangsa dan bila
pun ada urusan-urusan kehidupan yang bisa kami bantu, bukan urusan ibadah, maka
kita mari terlibat sama-sama dalam keindahan membangun bangsa.” (Ustadz Adi
Hidayat)
Untuk saudara Muslim yang masih ingin
mengucapkan itu, hanyalah orang-orang yang ada penyakitnya dalam hatinya.
Allahua’lam
bishawwab
__
Penyusun: Admin Pemuda Pencerah
Follow Akun:
Instagram: @pemudapencerah
Line: @ars6146q
Blog: pemudapencerah,blogspot.com
Komentar
Posting Komentar