Langsung ke konten utama

Christmas is Ours? Sikap Larangan sebagai Muslim


Cara Menyikapi Larangan Hari Raya Natal
Oleh: Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA hafizahullah ta'ala

Pertanyaan:

Hukum mengucapkan Natal dan cara menyikapi maupun berdakwah kepada saudara-saudara kita yang beragama Nasrani?

Jawaban:

Pertama, pertanyaan ini selalu ditanyakan setiap tahunnya. Padahal ketentuannya JELAS dan aturannya dapat dipahami dengan baik.

Kedua, hal ini sebenarnya sudah selesai. Tinggal perlunya penegasan untuk memperkuat keimanan kita.

Hukum mengucapkan “Selamat” kepada agama lain di LUAR KEYAKINAN kita dalam KEIMANAN kita sebagai muslim itu TIDAK DIPERKENANKAN, HARAM HUKUMNYA. Karena didalamnya terdapat unsur pengakuan adanya dien selain Islam atau agama yang dibenarkan selain Islam, itu tidak ada di wilayah Iman kita.

Indahnya, dalam Al-Qur;an dituliskan dan dijelaskan, “Laa iqrohal fiddiin” yang artinya “Tidak ada paksaan (tidak boleh memaksa) dalam beragama” namun TIDAK BOLEH ikut juga. Dan ini STANDART dalam keyakinan beragama, yang meyakini bahwa agamanya paling benar. Maka ummat Islam sudah seharusnya mengakui Islam adalah agama paling benar, namun tidak boleh memaksa orang lain masuk Islam, misal dengan cara menodongkan senjata.

[QS. Ali Imran (3) Ayat 19]
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Tafsir Jalalain, (Sesungguhnya agama) yang diridai (di sisi Allah) ialah agama (Islam) yakni syariat yang dibawa oleh para rasul dan dibina atas dasar ketauhidan. Menurut satu qiraat dibaca anna sebagai badal dari inna yakni badal isytimal. (Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab) yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam agama, sebagian mereka mengakui bahwa merekalah yang beragama tauhid sedangkan lainnya kafir (kecuali setelah datang kepada mereka ilmu) tentang ketauhidan disebabkan (kedengkian) dari orang-orang kafir (di antara sesama mereka, siapa yang kafir pada ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah cepat sekali perhitungan-Nya) maksudnya pembalasan-Nya.”

Tafsir Quraish Shihab, Agama yang benar dan diterima di sisi Allah adalah agama yang membawa ajaran tauhid dan tunduk kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Masing-masing umat Yahudi dan Nasrani saling berselisih tentang agama yang dimaksud itu, hingga mengakibatkan mereka melakukan penyimpangan dan penyelewengan. Perselisihan yang terjadi di antara mereka itu bukan disebabkan oleh ketidaktahuan mereka--karena mereka sebenarnya sudah tahu--tetapi lebih disebabkan oleh rasa saling iri dan dengki mereka. Biarkan orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah menanti perhitungan Allah yang cepat itu.”

Penjelasannya, “Innadiina ‘indallahil Islam” bermakna “Sungguh Ad-Diin (pegangan hidup/agama) tidak ada disisi Allah kecuali Islam.
Maksud Allah subhanahu wa ta’ala, yang Saya ridhoi, yang Saya tetapkan hanyalah ISLAM. Karena “Indallahi…” bermakna yang sangat dekat atau yang dimiliki (jika dalam konteks kemanusiaan) atau yang diridhoi atau yang ditetapkan. Yang lain tidak Saya tetapkan.

[QS. Ali Imran (3) Ayat 85]
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Tafsir Jalalain, (Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi) karena tempat tinggalnya ialah neraka di mana ia akan menetap di sana untuk selama-lamanya.”

Tafsir Quraish Shihab, “Barangsiapa yang menghendaki agama lain, setelah diutusnya Muhammad saw., selain agama dan syariat Islam yang dibawanya, tidak akan diperkenankan Allah. Pada hari pembalasan nanti, dalam pandangan Allah ia termasuk orang yang menyengsarakan diri sendiri. Mereka berhak merasakan siksa yang pedih.”

Penjelasannya, Siapa saja yang mencari selain Islam, mengakui selain Islam, menetapkan selain Islam, kata Allah, “Tidak akan saya terima.” Bahkan menggunakan kata “Laan”

Dalam ilmu Nahwu (Gramatikal Bahasa Arab), “Laa” adalah harfu nafyin yang artinya menafikan sesuatu tapi juga dalam penafian ini ada dua jenis, yaitu: (1) Mutlak dan (2) Saat itu tapi dumal istiqbal (tanpa yang akan datang) atau saat ini saja. Dalam hal ini dapat diambil contoh kalimat Syahadat, “Asyhaduu anlaa illaha ilallah” dimana “illaha…” bermaksud Ishbat bermakna yang lain ditolak secara mutlak, hanya Allah yang ditetapkan.

Dalam Syahadat sudah jelas bahwa menerima segala apa yang diperintahkan dan syariat perintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala MUTLAK.

Kemudian kata “Laan”, dalam ilmu Nahwu bermakna penolakan. “Laan” adalah harfu nafyin (menolak) wa nasybid (menashabkan atau kuat) wastibalin (sampai kapanpun) yang artinya tidak ada diin selain Islam yang diterima sampai kapanpun.

Dalam hal ini, TIDAK BERLAKU hukum PLURALISME yang mengatakan kalau “Semua Agama sama, menuju Tuhan yang sama, hanya berbeda caranya saja”. Ini adalah hukum yang aneh dan termasuk kemusyrikan kontemporer. Bahkan menurut pemikir Islam kini, Pluralisme termasuk agama baru. Karena setiap manusia memiliki pilihan begitu pula saat memilih Islam, harus konsekuen dengan pengakuan Islam itu sendiri.

Masuk kepada inti jawabannya,

Pertama, meyakini hanya Islam yang benar. Karena keyakinan kita ini bukan hanya dikuatkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga dikuatkan oleh Undang-undang. Dasarnya Pancasila sila ke-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Penjelasan sila ke-1 ini ada di Pasal 29 Ayat 1 sebagai pengantar dan Pasal 29 ayat 2-nya sebagai penjelasan atau cara melakukannya.

[Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29]
Maka dari itu, pelajaran pertama adalah Tauhid ada dalam Syahadat yang menjadi Rukun Islam pertama dalam ibadah. Yang adanya unsur pengakuan dan menjadi sebuah konsekuensi dalam ber-Islam. Maka dari itu ibadah pertama ini untuk menanamkan Tauhid adanya Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah, dan Aswa wa Shifat.


Dalam hal ini, “Innadiina indallahil Islam” mengandung makna adanya Tauhid dan Syahadatain. Ini juga dijelaskan dalam HR Muslim no. 8 Muqaddimah Jilid 1 dari sahabat Umar bin Khattab radiyallahu’anhu dan Hadits Arbain Nawawi hadits no. 2.

[HR Muslim no. 8 Muqaddimah Jilid 1 dari Sahabat Umar bin Khattab radiyallahu’anhu]
Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu berkata : “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]

[1] Beliau seorang perawi yang tsiqat (Taqribut Tahdziib : I/319 no.7706)


[Hadits Arbain Nawawi hadits no. 2]
Artinya: “Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata: “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”
Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”, kemudian dia berkata: “Anda benar “.
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “Anda benar“. 
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya”, beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya”, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar.
Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)

Penjelasannya, ibadah pertamanya Tauhid dan Syahadatain kemudian di kuatkan dengan shalat yang didalamnya juga ada Syahadatain. Jadi, boleh mengatakan bahwa, “Islam paling benar, agama lain tidak benar.”
Kemudian, bagaimana cara memiliki sikap terhadap yang tidak sekeyakinan dengan kita dalam hal keimanan? Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dalam QS. Al-Baqarah (2) Ayat 256.

[QS. Al-Baqarah (2) Ayat 256]
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Tafsir Jalalain, (Tidak ada paksaan dalam agama), maksudnya untuk memasukinya. (Sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari jalan yang salah), artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu adalah kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Ansar yang mempunyai anak-anak yang hendak dipaksakan masuk Islam. (Maka barang siapa yang ingkar kepada tagut), maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kokoh (yang tidak akan putus-putus dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui) segala perbuatan.”

Tafsir Quraish Shihab, “Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang-teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Perumpamaannya seperti orang yang berpegangan pada tali yang kuat dan kokoh, sehingga tidak terjerumus ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa yang kalian lakukan. Maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal. Komentar mengenai ayat ini dari segi hukum internasional telah disinggung pada ayat-ayat peperangan, dari nomor 190-195 surat al-Baqarah.”

Penjelasannya, “Laa iqrohal fiddiin qothbayyanna rrusydu minalghoyy” yang dimaksudkan kamu boleh yakin Islam agama yang paling benar tetapi kamu tidak boleh memaksakan orang untuk mengikuti keyakinan anda.

Manhaj umumnya termaktub pada [QS. An-Nahl (16) Ayat 125].
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Tafsir Jalalain, (Serulah) manusia, hai Muhammad (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Alquran (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang lebih mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi saw. melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw. bersumpah melalui sabdanya, "Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu."”

Tafsir Quraish Shihab, “Wahai Nabi, ajaklah manusia meniti jalan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanmu. Pilihlah jalan dakwah terbaik yang sesuai dengan kondisi manusia. Ajaklah kaum cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi untuk berdialog dengan kata-kata bijak, sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, ajaklah mereka dengan memberikan nasihat dan perumpamaan yang sesuai dengan taraf mereka sehingga mereka sampai kepada kebenaran melalui jalan terdekat yang paling cocok untuk mereka. Debatlah Ahl al-Kitâb yang menganut agama-agama terdahulu dengan logika dan retorika yang halus, melalui perdebatan yang baik, lepas dari kekerasan dan umpatan agar mereka puas dan menerima dengan lapang dada. Itulah metode berdakwah yang benar kepada agama Allah sesuai dengan kecenderungan setiap manusia. Tempuhlah cara itu dalam menghadapi mereka. Sesudah itu serahkan urusan mereka pada Allah yang Maha Mengetahui siapa yang larut dalam kesesatan dan menjauhkan diri dari jalan keselamatan, dan siapa yang sehat jiwanya lalu mendapat petunjuk dan beriman dengan apa yang kamu bawa.”

Penjelasannya, dakwahi mereka, sampaikan risalah, dan sampaikan keterangan dengan (1) Hikmah, (2) Pelajaran yang baik, dan (3) Bantahlah dengan cara yang baik.
Toleransi yang baik yaitu “Lakuum diinukuum waliyaddiin” yang artinya “Untukmu agamamu, untukku agamaku”. Dan toleransi terbaik yaitu Zero Tolerance yang bermaksud jangan saling ganggu dalam hal keimanan, akidah, dan ibadah.

KH. Hasyim Asyari rahimahullah dalam Kitabnya memberikan fatwa, “Orang yang ikut-ikutan mengenakan pakaian-pakaian mereka mereka, pergi ke tempat ibadah mereka itu hukumnya mutlak HARAM. Dihukumi Tasyabbuh bil Kuffar (menyerupai orang-orang kafir).”

Pesan-pesan kemuliaan bagi yang mengamalkan Natal dan saudara-saudara Nasrani,
“Saudara-saudariku, kita hidup berbangsa, setanah air. Kemudian kita hidup satu naungan ibu pertiwi, mari kita jaga kerukunan dalam kehidupan ini. Kita saling tolong menolong untuk membangun bangsa kita agar tumbuh menjadi bangsa yang maju, modern, terlibat dalam kehidupan dunia yang elegan. Namun, kami bermohon maaf karena dalam bangsa ini ada Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi memiliki satu tujuan untuk membangun bangsa, bukan tujuan membangun akhirat dalam hal kehidupan ber-agama. Kami mohon maaf belum bisa mengucapkan selamat karena di wilayah itu kita berbeda keyakinan. Dan hal ini dijamin oleh Undang-Undang, tetapi mohon maaf sebesar-besarnya, ketidakmampuan kami untuk mengucapkan selamat bukan berarti hubungan kebangsaan kita pun harus kemudian menjadikan tumbuh sifat negative, tumbuh saling berfikir negative, tidak. Ini bagian ranah keyakinan saja yang disitu kita saling menghormati. Kami tidak ikut-ikutan, silahkan saja itu keyakinan anda. Tapi kami menyayangi anda, kita bahu-membahu membangun bangsa dan bila pun ada urusan-urusan kehidupan yang bisa kami bantu, bukan urusan ibadah, maka kita mari terlibat sama-sama dalam keindahan membangun bangsa.” (Ustadz Adi Hidayat)
Untuk saudara Muslim yang masih ingin mengucapkan itu, hanyalah orang-orang yang ada penyakitnya dalam hatinya.

Allahua’lam bishawwab

__
Penyusun: Admin Pemuda Pencerah
Follow Akun:
Instagram: @pemudapencerah
Line: @ars6146q
Blog: pemudapencerah,blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lingkaran Ukhuwwah #3: Nataijul Ibadah (Buah Ibadah)

NATAIJUL IBADAH (BUAH IBADAH) Allah swt. telah menetapkan tujuan penciptaan manusia dan jin, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Allah swt. berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”  (Adz-Dzaariyat 51: 56) Ibadah dalam Islam mencakup seluruh sisi kehidupan, ritual dan sosial, hablumminah (hubungan vertikal) dan hablumminannas (hubungan horizontal), meliputi pikiran, perasan dan pekerjaan.  (قلُْ إنَِّ صَلاتيِ وَنسُُكِي وَمَحْياَيَ وَمَمَاتيِ لِِلَِّّ رَ ِّب ا لْعَالمَِينَ )١٦٢ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”  (Al-An’am 6: 162) Ibadah yang benar manakala terpenuhi dua syarat , yaitu ikhlas karena Allah swt. dan sesuai aturan syari’at. Allah berfirman: “Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (Al-Mulk 67: 2) ...

Fluktuasi Iman

IBNU ABDILBARR berkata, "Iman bertambah dan berkurang". Inilah keyakinan yang dianut sekelompok ahlus sunnah, fuqaha, dan ahli fatwa dari berbagai wilayah. Di antara dalil-dalilnya adalah firman Allah, yang artinya: "Untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada)."   (QS. Al-Fath: 4) Dan firman-Nya, yang artinya: "Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka."   (QS. Al-Ahzaab: 22) Nabi shalallahu 'alaihi wasallam  bersabda kepada kaum wanita, "Aku tidak melihat wanita-wanita kurang akal dan agama, namun mampu mengalahkan orang-orang berakal, melebihi kalian."  [1] At-Turmudzi berkata dalam bab kesempurnaan iman bahwa, "Iman itu dapat bertambah dan berkurang."  Selanjutnya dalam bab ini, At-Tirmidzi menyebutkan hadits Aisyah ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi peke...

Tahlilan (Pro dan Kontra)

[TENTANG TAHLILAN/KENDURI] Penulis             : Ustadz Maaher At-Thuwailibi hafidzahullah Isi                    : Polemik tentang tahlilan memang merupakan suatu hal yang cukup fenomenal. sampai-sampai masalah tahlilan ini sempat di perdebatkan secara terbuka oleh dua tokoh islam ternama; Dr. Firanda Andirja,Lc.MA (kalangan yang kontra) VS KH. Muhammad Idrus Romli (kalangan yang pro). Kalau di tanah kelahiran kami (medan sumatera utara), kami orang melayu menyebutnya dengan istilah “kenduri”. Sebagian orang menyebutnya “kenduri arwah”. sebagian yang lain menyebutnya “kirim do’a”. Yang tidak bisa di pungkiri ialah, bahwa tahlilan ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging dikalangan kaum tua (NU ataupun Al-Washliyyah). bentuknya, dengan kumpul-kumpul di rumah duka/ahlul bait yang di tinggal mati, lalu membaca wirid-wirid...