Langsung ke konten utama

Tahlilan (Pro dan Kontra)

[TENTANG TAHLILAN/KENDURI]
Penulis             : Ustadz Maaher At-Thuwailibi hafidzahullah
Isi                    :
Polemik tentang tahlilan memang merupakan suatu hal yang cukup fenomenal. sampai-sampai masalah tahlilan ini sempat di perdebatkan secara terbuka oleh dua tokoh islam ternama; Dr. Firanda Andirja,Lc.MA (kalangan yang kontra) VS KH. Muhammad Idrus Romli (kalangan yang pro). Kalau di tanah kelahiran kami (medan sumatera utara), kami orang melayu menyebutnya dengan istilah “kenduri”. Sebagian orang menyebutnya “kenduri arwah”. sebagian yang lain menyebutnya “kirim do’a”. Yang tidak bisa di pungkiri ialah, bahwa tahlilan ini sudah menjadi tradisi yang mendarah daging dikalangan kaum tua (NU ataupun Al-Washliyyah). bentuknya, dengan kumpul-kumpul di rumah duka/ahlul bait yang di tinggal mati, lalu membaca wirid-wirid berupa ayat-ayat al-qur'an, yasin fadhilah, tahlil, tahmid, do’a dan sholawat, lalu pahala bacaan wirid-wirid ini di niatkan untuk sang arwah; di kirimkan kepada orang yang meninggal_di lakukan pada hari ke 3, 7, dan 40 dari kematian.
Begini, ini hanya pendapat. Sekali lagi, hanya pandangan pribadi. sebagai upaya membuka ruang dialog yang sehat, ilmiah, argumentatif, dan penuh cinta antar sesama muslim. Anda boleh terima, dan boleh juga tidak. Kami hanya berpendapat dan anda berhak untuk tidak setuju dengan pendapat kami. Karena apapun dan bagaimanapun anda, anda adalah saudara kami.
Menurut kami begini, tahlilan memang BID’AH. dalam artian bahwa tahlilan merupakan sebuah ritual keagamaan baru yang tidak pernah di praktekkan oleh baginda Nabi yang mulia dan tidak pula mewarnai budaya kaum Salaf terdahulu. anda terima atau tidak, ini fakta sejarah.! Tidak ada satu pun riwayat atau hadits atau atsar sahabat (baik yang shahih bahkan yang dha’if sekalipun) dalam kitab-kitab klasik yang menyebutkan bahwa RASULULLAH MATI DI TAHLILKAN OLEH PARA SAHABATNYA/KELUARGANYA atau RASULULLAH MEMIMPIN ACARA TAHLILAN. TIDAK ADA! Suka atau tidak suka, ini harus kita terima. Karena faktanya demikian.
Singkatnya begini, di akui atau tidak tahlilan adalah satu ritual yang mengandung nilai-nilai ibadah yang memang tidak pernah di contohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. sebelum kita bahas lebih lanjut, prinsip ini pegang dulu. karena dalam kaedah disebutkan, “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaih” (andai perbuatan itu baik, tentu Nabi dan para Sahabat sudah mendahulu kita melakukannya).
“Berarti anda wahabi dong ?”
Oh tidak. Kami bukan Wahabi. Kami Maaher At-Thuwailibi 😊
Logika sederhananya begini, jika anda menganggap kami “wahabi” karena kami tidak setuju dengan Tahlilan, apakah berarti Imam Syafi’i juga “wahabi”? karena pada kenyataannya Imam Syafi’i tidak mempraktekkan yang namanya acara tahlilan, bahkan imam syafi'i sendiri saat meninggal dunia tidak di tahlilkan oleh keluarganya dan tidak pula oleh para pengikutnya. meskipun ada riwayat dari Imam An-Nawawi bahwa Imam Syafi’i menganggap baik mengkhatamkan al-qur’an lalu menghadiahkan pahalanya ke orang mati. Tetapi, Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menukilkan qaul (statement) Imam Syafi’i bahwa pahala bacaan al-qur’an yang dikirimkan kepada orang mati tidaklah sampai. Bahkan dalam kitab hasyiah i’anatu tholibin disebutkan bahwa menurut Ulama Syafi’iyyah kumpul-kumpul di rumah orang mati adalah BID’AH YANG MUNGKAR. Tentunya, di zaman Imam Syafi’i belum ada “wahabi”. 
TAPI setidaknya, ini bid'ah yang juga perselisihkan sehingga tidak perlu di ributkan apalagi sampai gontot-gontotan. saudara-saudara kita yang setuju dengan tahlilan diantara alasannya adalah pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah bahwa mengirim pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang mati, SAMPAI. Lalu pendapat ini kemudian di ikuti oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dan beliau jelaskan dalam kitab Ar-Ruuh. Demikian pula sebuah qaul (pernyataan) Ulama tabi’in bernama Imam Atho’ yang diriwayatkan imam ahmad bin hanbal dalam kitabnya az-zuhud bahwa ia menganjurkan melakukan shodaqoh dan kirim do’a kepada orang mati pada hari ke 3, 7, dan hari ke 40 dari kematian.
KESIMPULANNYA, kami pribadi tidak setuju dengan budaya tahlilan. tapi apa mau di kata, sebagai mukmin sejati kita tetap harus berlapang dada menyikapi perbedaan. Artinya begini, tidak setuju dengan tahlilan, itu hak kami. Tapi gampang menyesat-nyesatkan orang, ini bukan adab islami.
Solusi dari kami pribadi begini: bagi yang hendak melakukan Tahlilan, maka Nabi dan para sahabat-Nya lebih layak jadi teladan. Bagi yang tidak setuju tahlilan, silahkan; tapi tahan lisan untuk tidak gampang menyesat-nyesatkan. Bila hal ini terwujud dalam kehidupan, maka terwujudlah persatuan.
[ Antara Pendekatan Para Wali dan Argumentasi ]
“Musuh kita banyak. ngga usah ribut masalah furu’iyyah (perbedaan pendapat)”. Begitu kata sebagian orang_
Jawaban kami: betul musuh kita banyak. namun bukan berarti menjadi salah jika kita membahas satu masalah din/agama dengan sportif dan ilmiah guna membangun khazanah keilmuan ditengah masyarakat. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) itu boleh, berpecah belah (iftiroq) itu yang tidak boleh.
Dengan segala penghormatan kepada saudara-saudara Nahdhiyyin (NU), dalam tulisan/artikel yang pertama telah kami sebutkan pandangan kami tentang tahlilan (kenduri kematian). Pendapat kami adalah tetap pada prinsip bahwa tahlilan adalah perkara yang baru dalam agama (alias muhdats). Artinya, TAHLILAN itu adalah ritual keagamaan yang tidak bersumber dari dalil naqli/nash sharih, dan tak pula di praktekkan oleh seorang pun diantara Khalifah yang empat sesudah-Nya (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). ini prinsip yang kami pegang.
Untuk di Indonesia, prinsip ini pun di wakili oleh Ormas Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Dewan Dakwah, Hidayatullah, dan Wahdah Islamiyyah (WI), dll. Alasan utama kami untuk tidak menerima ACARA KENDURI KEMATIAN (tahlilan) sebagai suatu yang di syari'atkan itu telah kami kemukakan dengan gamblang dalam tulisan pertama.
ARGUMENTASI kami diantaranya:
1=> Allah berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
(QS. An-Najm ayat 39)
Silahkan baca tafsir ayat ini disemua kitab tafsir.
2=> Pendapat para Ulama Syafi'iyyah dalam Kitab I’anatu Thalibin yang dinukilkan oleh Imam An-Nawawi bahwa kumpul-kumpul di rumah orang mati/kenduri adalah BID’AH YANG MUNKAR atau MINIMAL MAKRUH.
3=> Kata Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm pada juz 1, yang artinya:
“...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu kumpul-kumpul dirumah keluarga mayat walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat”.
4=> Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dan merujuk juga kepada Kitab I’anatut Thalibin dengan menyatakan bahwa selamatan kematian/tahlilan adalah bid'ah yang dibenci.
Namun, kami tidak bisa menolak fakta diakar rumput dimana praktek Tahlilan ini telah menjadi sebuah tradisi (kebiasaan) di tengah keumuman masyarakat yang juga perlu kita sikapi dengan kepala dingin, lapang dada, dan membangun komunikasi yang baik pada masyarakat. sehingga tidak menimbulkan kesalahfahaman dan percikan-percikan yang sesungguhnya tidak kita harapkan. Termasuk sikap sebagian saudara-saudara kita yang juga GAMPANG menyesat-nyesatkan orang dan mudah memberi cap jelek terhadap saudaranya yang berlainan pendapat. nah, gesekan-gesekan semacam ini juga sebaiknya kita bendung bersama guna membangun kehidupan bermasyarakat yang damai, sejuk, dan penuh rahmat.
TAHLILAN. sebuah kata yang telah mendarah daging ditengah masyarakat melayu (indonesia dan malaysia). terlebih lagi di tanah jawa. ini sudah lazim sebagai sebuah adat. di satu sisi, kita harus menerima bahwa praktek ini tidak pernah di laksanakan di masa Nabi dan tidak ada anjuran dari beliau. Sementara Allah mengatakan dalam Al-Qur’an:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة
“Telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik”.
(QS. Al-Ahzab ayat 21)
Lalu kanjeng Nabi bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dalam agama/praktek peribadatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu TERTOLAK.”.
Di sisi lain, praktek tahlilan ini sudah menjadi al-‘adah (kebiasaan) di tengah masyarakat yang jika kita tentang maka justru menimbulkan keributan atau madhorot. betapapun yang namanya adat boleh di praktekkan selama ia tidak bertentangan sengan syari'at islam.
Muncul pertanyaan, apakah TAHLILAN (KENDURI KEMATIAN) itu merupakan ‘adat yang bertentangan dengan syariat islam (Al-Qur’an & As-Sunnah) ?? Ini letak masalahnya. Disinilah pokok perdebatan panjang diantara para alim ulama kita. 😊
KITA tidak bisa menutup mata dari fakta sejarah. Asal mula islam tersebar di nusantara adalah di tanah jawa. lewat perantara 9 wali, atau yang kita kenal dengan sebutan ‘WALI SONGO’. percaya atau tidak, ini adalah fakta sejarah. Masalah valid atau tidaknya ke-otentikan eksistensi wali songo, itu hak masing-masing untuk membangun persepi dan penelitian. Setidaknya, ketika Islam datang ke tanah jawa ini, pasti menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi harus kehilangan selamatan-selamatan (tahlilan-kendurian).
Dalam sebuah buku yang pernah kami baca, di kalangan para wali ini pun terjadi perbedaan pendapat tentang acara selametan-selametan ini (tahlilan). Sunan Ampel pernah memperingatkan Sunan Kalijaga yang masih melestarikan acara selamatan/tahlilan tersebut. Kata Sunan ampel, “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Lalu Sunan Kalijogo menjawab, “Biarlah nanti ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat, generasi setelah kita yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku berjudul “Kisah & Ajaran Wali Songo” yang ditulis H. Lawrens Rasyidi juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) BERBEDA PANDANGAN MENGENAI ADAT ISTIADAT dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, tahlilan, bersaji (sesajian), wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain. Kata beliau, “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya.
UNTUK kita ketahui, bahwa dalam penyebaran agama Islam di pulau jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah sasaran (timur, tengah, dan barat). Dan pembagian wilayah tersebut berdasarkan objek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh masyarakat pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha. Dua Pendekatan dakwah para wali yaitu: Pendekatan Sosial Budaya & Pendekatan aqidah Salaf.
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit.
Nah, jika kita menarik benang merahnya, kami menyimpulkan bahwa acara kenduri kematian (tahlilan) ini memang identik dengan budaya atau tradisi masyarakat tertentu yang kemudian dijadikan uslub/sarana oleh para Wali itu untuk menyebarkan ajaran islam.
Nah, konsep dasar dari kedua belah pihak yang MEMPERDEBATKAN HUKUM TAHLILAN ini adalah terletak pada pemahaman mereka dalam memahami hadits:
1. كل بدعة ضلالة
“Setiap bid’ah adalah sesat!”
2. من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة....
“Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah atau memulai perbuatan yang baik dalam Islam maka ia mendapat pahala sekaligus pahala orang lain yang mengamalkannya sampai hari kiamat”.
Nah, disinilah AKAR perbedaan pendapat antara yang pro tahlilan dan yang kontra tahlilan. Sehingga konsep dasarnya ada pada BID’AH HASANAH. Menerima bid'ah hasanah atau tidak. Itu akar masalahnya!. Jika masalah BID'AH HASANAH ini selesai, maka selesai perdebatan. Umumnya kalangan yang mengingkari tahlilan berdalil dengan hadits pertama (Setiap bid’ah pasti sesat, karena arti Kullu adalah keseluruhan). Sedangkan fihak yang menetapkan tahlilan umumnya berdalil dengan Hadits kedua (bahwa bid’ah itu ada yang hasanah/baik, dan arti kata-kata “kullu” dalam hadits kedua itu tidak berarti “keseluruhan” tapi bermakna “sebagian” jika ditinjau secara ilmu nahwu/gramatika bahasa arab). Jadi, yang diperdebatkan itu di akarnya. kalau akarnya ketemu, maka yang cabang akan ngikut semua.
Nah, sekarang kita bahas isi dari acara kendurian/tahlilan itu. Secara umum, isinya adalah:
Mengirim doa dan pahala bacaan Al-Qur’an (Yasin misalnya) untuk arwah yang meninggal. Nah, ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Ulama sebagaimana yang sudah kami jelaskan pada tulisan pertama. Pendapat yang masyhur dari kalangan Syafi'iyyah bahwa hadiah pahala bacaan Al-Quran kepada arwah tidaklah sampai. Sedangkan Hanabilah (ulama mazhab hanbali) semisal Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, dan bahkan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal sendiri menyatakan SAMPAI.
NAH, sampai pada perkara yang diperselisihkan Ulama ini, kami membuka diri untuk berlapang dada dalam menerima perbedaan pendapat. Sehingga SOLUSI dari kami (demi tercapainya persatuan dan kehidupan yang penuh rahmat), maka bagi yang ingin tetap melaksanakan acara tahlilan silahkan. itu hak setiap individu muslim yang tidak boleh di diskrimninasi apalagi di sesat-sesatkan.
NAMUN, mengamati realita masyarakat kita dimasa kini yang menjadi bahan sorotan kami sehingga kami dengan segala hormat tidak bisa menerima praktek tahlilan yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin dewasa ini adalah:
1=> Hampir di setiap tempat termasuk di pelosok desa, tahlilan ini dianggap sebagai suatu yang “wajib”. Opini yang terlanjur berkembang di masyarakat kita bahwa jika ada orang meninggal tidak di tahlilkan berarti tidak afdhol. bahkan orang yang tidak melakukan ritual tahlilan, di anggap “wahabi” dan di kucilkan. Padahal, Imam Syafi’i meninggal tidak pernah di tahlilkan. ini fakta sejarah kehidupan Imam Syafi'i yang sudah menjadi konsumsi publik. Jangankan Imam Syafi’i, sepanjang sepengetahuan kami, sejumlah tokoh bangsa ini juga meninggal tidak di tahlilkan. Imam Bonjol tidak di tahlilkan, KH.Ahmad Dahlan tidak di tahlilkan, Buya Hamka tidak di tahlilkan, Prof.Dr.Hashbi As-Siddiqy tidak di tahlilkan, A. Hassan tidak di tahlilkan, Buya Muhammad Natsir (pendiri Masyumi) juga meninggal tidak di tahlilkan.
2=> Orang yang tidak melakukan tahlilan di kucilkan, contohnya dengan perkataan “Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal?? seperti nguburin kucing!”
Padahal, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqoyyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??
Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah Radhiyallahu 'anha juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Ini fakta sejarah....😊
3=> Dimasyarakat kita (khususnya di kampung saya medan dan langsa Aceh timur), bahkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran itu dengan menyewa dan membayar orang untuk membacakan Al-Qur'an di sisi kuburan sang mayat selama sekian hari dan sekian hari (tergantung permintaan). ini jelas kemungkaran.
4=> Sekali lagi, kami tidak menganggap saudara-saudara kami yang menggelar acara tahlilan sebagai Ahli Bid'ah, musuh agama, calon neraka, tidak...demi Allah tidak. Tidak sama sekali ! karena kami bukan Talafi...😊Berulang-ulang kami katakan bahwa apapun dan bagaimanapun anda, anda adalah saudara kami seiman. Ketika kami inginkan Surga, maka anda pun berhak untuk menggapai Surga.
Tapi hal yang kami ingkari lainnya dari acara tahlilan atau kendurian ditengah masyarakat kita adalah, di masyarakat sudah menjadi sebuah kebiasaan bahwa acara tahlilan ini harus di laksanakan karena sudah mengakar sebagai adat, sampai-sampai orang-orang miskin pun harus BERHUTANG untuk supaya bisa mengadakan acara tahlilan. Padahal perintah Nabi kepada para sahabat adalah membuatkan dan membawakan makanan untuk keluarga Ja'far yang sedang tertimpa musibah kematian. Bukan justru keluarga mayit yang membuatkan dan mengeluarkan makanan untuk para penta’ziah. Ini jelas sudah terbalik. Adapun katanya keluarga mayit mau sedekah lagi, itu hanya alasan saja. Singkat kata, ngeles.!
5=> Dalam hadits yang sudah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah melarang keras “An-Niyahah”, yaitu meratap.
Sedangkan ada riwayat dari Thalhah, bahwa Jarir mendatangi Umar bin Khathab. Umar berkata, “Apakah kalian suka meratapi mayat (niyahah)? Jarir menjawab, “Tidak!”, Umar berkata, “Apakah di antara wanita-wanita kalian suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?” Jarir menjawab: “Ya!”.
Umar berkata, “Hal itu sama dengan meratap/niyahah!”.
TERAKHIR, kami berikan sebuah catatan penting yang perlu kita renungkan bersama. Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan (selamatan Kematian) ini?
Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima):
1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa.
3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mempunyai nilai. meskipun tidak berdosa, tapi tidak bernilai. singkat kata, ya sia-sia.
4. Makruh : Dibenci. apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala.
5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Pertanyaannya adalah:
1. Apakah Tahlilan (selamatan Kematian) di dalamnya terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?
Jawabannya :
1. Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, baca sholawat, baca Al Fatihah, maka ia termasuk ibadah. Sedangkan dalam kaedah disebutkan=> hukum asal ibadah adalah "haram" dan "terlarang" sampai ada dalil yang mensyariatkannya. Kalau Allah dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah? Ini kalau anda anggap Tahlilan itu sebagai suatu ibadah....😊
2. Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama Islam, terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan. Ternyata, tahlilan hanya di lakukan di sebagian negara di Asia Tenggara (khususnya indonesia & malaysia). sedangkan umumnya negeri-negeri islam (timur tengah) faktanya tidak melakukan.
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan.
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlilkan istri beliau, anak beliau dan para syuhada.
Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.
Kalau seandainya hukumnya mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya. Logis kan?
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Jadi….sekarang pilih yang mana ? Masih mau melakukan atau tidak itu kembali kepada masing-masing fihak dan tidak perlu saling menjitak. 😊
Catatannya, siapapun anda, anda adalah saudara kami seiman. kami tak setuju acara tahlilan, tapi kami juga tak setuju segelintir orang yang gampang menyesat-nyesatkan.
Semoga Allah mempertemukan kita di Surga-Nya.
Wallahu A’lam.
[ Pustaka At-Thuwailibi Channel ]


LAMPIRAN
Walaupun dihiasi dengan lambang NU dan gambar pendiri NU serta pemimpin dan kyai NU, acara tahlilan, haul dan semacamnya yang berkaitan dengan  peringatan (selamatan) orang meninggal sejatinya tidak sesuai dengan keputusan Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926. Karena dalam muktamar itu dirujukkan pada hadits riwayat Ahmad
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ ، قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ. تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح
Dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata:
”Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Kitab I’anatut Thalibin yang dirujuk Muktamar NU ke-1 itu di antaranya menegaskan:
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر
Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.
Bagaimana pula ketika orang NU sendiri melanggar Keputusan Muktamar NU dan sekaligus melanggar Islam namun dibesar-besarkan pelaksanaannya seperti ini?
Haul Gus Dur ke-4
Minggu, 29 Desember 2013 – 09:02 wib
Ribuan jamaah menghadiri Haul Gus Dur ke-4 di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2013). Haul Gus Dur kali ini dihadiri para tokoh politik dan ribuah jamaah, di mana acara diisi dengan tahlilan dan pembacaan satu juta surat Al-Ikhlas.
Di antara tokoh yang hadir adalah Wakil Menteri Agama Nassarudin Umar, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Sekjen ICIS Hasyim Muzadi, dan Romo Magnis memanjatkan doa untuk almarhum mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada acara Haul Gus Dur ke-4 di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2013). Haul Gus Dur kali ini dihadiri para tokoh politik dan ribuah jamaah, di mana acara diisi dengan tahlilan dan pembacaan satu juta surat Al-Ikhlas.
DIKHAWATIRKAN TAK BOLEH MINUM AIR TELAGA DI AKHIRAT
Dikhawatirkan, orang-orang yang mengadakan dan melakukan bid’ah munkaroh dan sudah diperingatkan namun justru dibesar-besarkan itu akan terkena hadits tentang orang-orang yang tidak boleh minum air telaga di Akherat kelak.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَمَنْ وَرَدَهُ شَرِبَ مِنْهُ وَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ بَعْدَهُ أَبَدًا لَيَرِدُ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ قَالَ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي
“Aku adalah pendahulu kalian menuju telaga. Siapa saja yang melewatinya, pasti akan meminumnya. Dan barangsiapa meminumnya, niscaya tidak akan haus selamanya. Nanti akan lewat beberapa orang yang melewati diriku, aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku, namun mereka terhalangi menemui diriku.” Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya mereka termasuk umatku.” Maka dikatakan, “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui perkara yang telah mereka rubah sepeninggalmu.” Kemudian aku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bersabda: “jauhlah, jauhlah! bagi orang yang merubah (ajaran agama) sesudahku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


MUKTAMAR NU ke-1
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926
Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.
Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang ‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll.
Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut.
Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas.
Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
[Buku “Masalah Keagamaan” Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166 , Seperti terlampir di bawah ini :
وقد أرسل الامام الشافعي – رضي الله عنه – إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات بقوله: إني معزيك لا إني على ثقة* * من الخلود، ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد ميته * * ولا المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية: هي الامر بالصبر، والحمل عليه بوعد الاجر، والتحذير من الوزر بالجزع، والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة، فيقال فيها: أعظم الله أجرك، وأحسن عزاءك، وغفر لميتك، وجبر معصيتك، أو أخلف عليك، أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.
وأما تعزية المسلم بالكافر فلا يقال فيها: وغفر لميتك، لان الله لا يغفر الكفر.
وهي مستحبة قبل مضي ثلاثة أيام من الموت، وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع أهل الميت من صغيروكبير، ورجل وامرأة، إلا شابة وأمرد حسنا، فلا يعزيهما إلا محارمهما، وزوجهما.ويكره ابتداء أجنبي لهما بالتعزية، بل الحرمة أقرب.ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.
(وصورتهما).
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو أراد رئيس الحكام -بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.
(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح.اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم
.
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.
اه.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
اه.وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.
كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.
(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.
قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (ص): اصنعوا لآل جعفر
طعاما
(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
ولانه بر ومعروف، ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال:كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.والله سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما
Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi atau ditulis tebal di atas, di dalam Kitab I’anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar, yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk Niyahah”
5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.


BANTAHAN
Wahhabi, mendengar istilah tersebut, semua orang sudah paham bahwa kelompok Wahhabi memiliki permusuhan abadi terhadap Tahlilan. "Wahhabi Anti Tahlilan". Kebencian Wahhabi terhadap Tahlilan terus saja disebarkan melalui buku-buku, selebaran, ceramah dan dunia online seperti facebook, website, dan sebagainya.

Diskusi dengan Wahhabi banyak dilakukan namun hasilnya Wahhabi tetap sulit paham dan tidak mau paham mengenai tahlilan. Propaganda pun terus mereka sebarkan meskipun sudah banyak dijawab dan ditanggapi oleh kalangan Aswaja.

Propaganda Wahhabi yang disebarkan melalui website, salah satunya melalui situs Wahhabi Nahimunkar[dot]com yang mengutip dari blog Wahhabi aslibumiayu[dot]wordpress[dot]com (8 April 2012).

Dalam situs Nahimunkar (24 Maret 2014), Wahhabi membuat judul yang cukup fantastis yakni dengan judul "Tahlilan, Haul dan Semacamnya Adalah Bid’ah Tercela Menurut Muktamar NU ke-1 Tahun 1926" sehingga membuat kesan seolah-olah NU pernah memutuskan "Anti-Tahlilan" dan "Anti-Haul" dalam muktamar yang digelarnya.

BUKAN TAHLILAN, TAPI BERI MAKAN KE PEN-TA'ZIYAH
Keputusan diatas mengambil referensi dari kitab I'anatuth Thalibin li-Syatha' Ad-Dimyathi dan Al-Fatawa al-Kubro li-Ibni Hajar al-Hataimi. Benarkah Anti Tahlilan dan Anti Haul ?

Perlu diluruskan di sini bahwa dalam Muktamar NU I Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsani 1345 H /21 Oktober 1926 di Surabaya tidak ada yang membahas soal Tahlilan, apalagi Haul. Tidak seperti yang ditulis oleh situs Wahhabi Nahimunkar dan Asliabimanyu Wordpress.

Yang dibahas dalam Muktamar itu ada ada 27 soal. Salah satu soalnya, yakni soal ke-18, yang dibahas adalah masalah “Keluarga Mayyit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah”. Di dalamnya dijelaskan antara lain bahwa: “Bid’ah dhalalah jika prosesi penghormatan kepada mayyit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau “memuji secara berlebihan.” Antara “Tahlilan” dengan “Meratapi” jelas sangat jauh berbeda pengertiannya.
TAMBAHAN DARI WAHHABI

Dalam situs Nahimunkar juga ditulis sub-judul "Dikhawatirkan tidak boleh minum air telaga di Akherat" dengan membawakan hadits Bukhari Muslim. Hadits itu tidak ada dalam teks keputusan Muktamar, itu hanyalah tambahan Wahhabi yang menganggap Tahlilan sebagai bid'ah munkaroh.

MEMBERIKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya boleh dikerjakan (tidak akan mendapat dosa), hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala.

Dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.

Dalam kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi terdapat keterangan sebagai berikut:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).

Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).

TIDAK SEMUA MEMAKRUHKAN
Berkaitan dengan memberi makan oleh keluarga mayyit kepada pen-ta'ziyah, tidak semua ulama menghukumi makruh.  Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:

Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:

عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”


Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.

Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.

Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:

يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Allahu a’lam bishawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lingkaran Ukhuwwah #3: Nataijul Ibadah (Buah Ibadah)

NATAIJUL IBADAH (BUAH IBADAH) Allah swt. telah menetapkan tujuan penciptaan manusia dan jin, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Allah swt. berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”  (Adz-Dzaariyat 51: 56) Ibadah dalam Islam mencakup seluruh sisi kehidupan, ritual dan sosial, hablumminah (hubungan vertikal) dan hablumminannas (hubungan horizontal), meliputi pikiran, perasan dan pekerjaan.  (قلُْ إنَِّ صَلاتيِ وَنسُُكِي وَمَحْياَيَ وَمَمَاتيِ لِِلَِّّ رَ ِّب ا لْعَالمَِينَ )١٦٢ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”  (Al-An’am 6: 162) Ibadah yang benar manakala terpenuhi dua syarat , yaitu ikhlas karena Allah swt. dan sesuai aturan syari’at. Allah berfirman: “Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (Al-Mulk 67: 2) ...

Fluktuasi Iman

IBNU ABDILBARR berkata, "Iman bertambah dan berkurang". Inilah keyakinan yang dianut sekelompok ahlus sunnah, fuqaha, dan ahli fatwa dari berbagai wilayah. Di antara dalil-dalilnya adalah firman Allah, yang artinya: "Untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada)."   (QS. Al-Fath: 4) Dan firman-Nya, yang artinya: "Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka."   (QS. Al-Ahzaab: 22) Nabi shalallahu 'alaihi wasallam  bersabda kepada kaum wanita, "Aku tidak melihat wanita-wanita kurang akal dan agama, namun mampu mengalahkan orang-orang berakal, melebihi kalian."  [1] At-Turmudzi berkata dalam bab kesempurnaan iman bahwa, "Iman itu dapat bertambah dan berkurang."  Selanjutnya dalam bab ini, At-Tirmidzi menyebutkan hadits Aisyah ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi peke...